Cerpen- Tentang Angel, Bintang, dan Bulan  

Posted by Dunia Dalam Karangan in ,

Tentang Angel, Bintang, dan Bulan


Pernahkah kamu melihat malaikat? Ia datang padamu, menolongmu. Dan disaat engkau sudah bahagia. Dia hilang….

***
Adrien

Aku keluar menuju balkon kamar. Malam ini begitu sejuk. Kududuk dilantai sambil menatapi langit malam. Begitu banyak bintang. Mengapa bintang bersinar?

***

Kutatapi bintang- bintang setiap malam. Tiba- tiba terdengar suara dari kamar seberang. Keluar seorang anak perempuan. Ia tersenyum kepadaku. Aku hanya mengangguk. Tampaknya ia anak tetangga yang baru pindah.

“Sedang apa kakak?” tanyanya polos.

“Melihat bintang- bintang.” Jawabku.

“Oh… bagus ya!” katanya riang.

Lalu kami terdiam.

“Mengapa bintang bersinar?” gumamku.

“Eh? Umm.. Buat nemenin bulan di malam hari?” jawabnya polos. “Bulannya redup ya kakak… Mungkin bintang- bintang itu bersinar buat menghibur bulan yang sedang sedih.”

“Aku tidur dulu ya kakak.” Kata anak itu sambil berjalan masuk ke kamarnya.

“Oh, iya. Namaku Angel.” Katanya sambil tersenyum. Kemudian menutup pintunya.

Apa gunanya begitu banyak bintang yang menemani kalau bulan itu tetap redup?

***

“Apa gunanya begitu banyak bintang kalau bulan itu tetap redup sinarnya?” tanyaku esoknya pada Angel.

“Uhm.. Bulan itu belum melihat bintang yang sinarnya paling terang?”

“Memang tampaknya cahaya bintang sama saja.” jawabku.

“Begitu banyak bintang, kakak. Mungkin bulan itu sedang bingung mencarinya. Atau bintang yang cahayanya terang itu belum muncul…” katanya.

***

“Ah! Kakak. Lihat itu. Bintang itu sinarnya terang sekali.” Kata Angel riang.

“Mana?” aku berusaha mencari bintang yang katanya bersinar paling terang.

“Ituuuuu…” tunjuknya. “Ah, kakak. Kenalkan. Ini kakakku. Andy namanya.”

Aku kembali menengok ke balkon kamarnya. Sudah tampak berdiri seorang anak laki- laki sebayaku.

“Hai” sapanya.

“Hai. Jawabku sambil tersenyum.”

***

Setelah perkenalan itu, aku dan Andy sering bermain dan mengobrol bersama.

“Bulannya bersinar cerah ya, kakak.” Kata Angel padaku di suatu malam.

“Ya. Tapi tidak ada banyak bintang. Hanya satu malah.” Jawabku sambli menatap langit.

“Tapi bintang itu tetap bersinar terang.” Katanya.

“Iya. Eh, Angel.”

“Ya, kakak?”

“Angel itu seperti bintang ya. Aku bulannya. Angel datang dan menghibur kakak.”

Angel menggeleng, “Angel adalah Angel. Angel bukan bintang.”

Aku hanya tersenyum memandangnya.

***

Sudah beberapa hari Angel tidak muncul di balkon kamarnya.

“Ia tidak bisa bangun dari tempat tidur.” Kata Andy.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Sakitnya bertambah parah.”

***

Aku datang menjenguk Angel. Ia sudah tampak begitu pucat.

“Kak Adrien.” Panggilnya sambil tersenyum.

“Ya.” Jawabku, sambil duduk di kursi sebelah tempat tidurnya.

“Sekarang kakak sudah senang?” tanya Angel kepadaku.

“Sudah.” Jawabku. “Aku punya teman.”

***

Sudah beberapa hari setelah kepergian Angel. Aku tidak ingin melihat langit. Takut melihat bulan yang redup cahayanya. bulan yang sudah tidak ditemani bintang yang bersinar terang. Bulan itu aku. Angel adalah bintang.

Aku keluar menuju balkon kamar. Malam ini begitu sejuk. Kududuk dilantai sambil menatapi langit malam.

“Adrien.” Panggil suara itu. Andy tampak sedikit tersenyum melihatku.

“Akhirnya keluar juga kamu.”

“Ini dari Angel. Buat kamu.”

Kulihat kado yang dibungkus oleh Angel. Kubuka dengan pelan. Lilin yang dibuat bentuk bulan. Kubaca surat yang menyertai bungkusannya.

Buat Kak Adrien,

Hai kakak.. ^^ mungkin sekarang Angel udah ga ada lagi di deket kakak. Angel bikinin bulan buat kakak. Waktu lihat kakak, Angel langsung pikir kakak itu seperti bulan waktu itu. Redup. Sedih. Ga ada temen. Hehe.


Angel pernah bilang kan ke kakak, Angel ini bukan bintang. Angel ga mau jadi bintangnya kakak karena Angel tau, kalo Angel jadi bintang sinar Angel ga bakal lama nemenin kakak.


Angel uda nemuin bintang buat kakak. Dijaga ya. Angel yakin kok bintang itu sinarnya bakal nemenin kakak terus. Karena, bintang itu yang selama ini nemenin Angel. Bintangnya punya Angel, Angel kasih ke kakak.


Kulipat lagi surat dari Angel. Andy menatapku. Kemudian menatap bulan yang ada ditanganku. Dikeluarkannya sesuatu dari saku celananya. Lilin bentuk bintang.

***

Andy

Kutatap lilin itu. Aku akhirnya mengerti apa kata- kata Angel.

“Kakak itu bintangnya Angel”

“Apa?”

“Gapapa, Angel seneng karena kakak selalu ada dideket Angel buat menghibur Angel.”

“Ooo..Kalo gitu Angel itu bulan ya?”

“Angel bukan bulan…”

“Oh, iya. Ini. Buat kakak. Yang ini bungkusan buat kak Andy.”


Adrien

Angel itu bukan bintang. Ia hanya malaikat kecil yang memperlihatkan bintang kepada bulan. Kutatap langit. Bintang itu bersinar terang, menemani bulan yang cahayanya mulai terang.

***

Andy

Angel bukan bulan. Ia hanya malaikat kecil yang memberikan bintangnya kepada bulan.

***


Pernahkah kamu melihat malaikat? Ia datang padamu, menolongmu. Dan disaat engkau sudah bahagia. Dia hilang…. Atau ia hanya pergi kesuatu tempat yang lain? Menunjuk satu bintang lain untuk menemani agar bulan bersinar terang.

Puisi- Kata Kita, Kata Mereka  

Posted by Dunia Dalam Karangan in ,

KATA KITA , KATA MEREKA

KATA KITA , KATA MEREKA




kata kita
Diam! Mereka akan tahu

kata mereka..
Bicara, maka kami akan mengerti

kata kita…
Menangislah... lampiaskan kesedihanmu.

kata mereka...
Jangan menangis! Tunjukkan bahwa engkau tegar.

kata kita...
Jangan! Engkau tidak akan mampu.

kata mereka...
Lakukan! Engkau mampu!

kata kita...
Hentikan! Kau takkan melampauinya.

kata mereka...
Teruskan! Kau akan mencapainya.

kata kita...
Apa aku sanggup? Apa aku bisa?

kata mereka
Kau sanggup, kau yang terbaik!

kata kita...
kita HANYA manusia, tidak dapat melakukan segalanya...

kata mereka..
Karena kita manusia, kita ingin mencapai segalanya....


9/27/2006

Cerpen- Rumah  

Posted by Dunia Dalam Karangan in ,

Rumah
Apa itu rumah?


***


Aku bertanya pada Rasti pada saat jam istirahat, “Apa itu rumah?”

“Hmm?” Rasti memandangku aneh. Seperti tidak mengerti apa yang aku tanyakan.

“Rumah itu apa?” tanyaku tidak sabar.

“Rumah itu… tempat tinggal.” Jawab Rasti singkat, namun ragu.

“Tempat tinggal? Kalau begitu, kolong jembatan bisa disebut rumah?” tanyaku lagi, lebih tidak sabar.

“Tidak.”

“Kenapa tidak?”

“Karena, tempat tinggal yang kumaksud adalah tempat dimana kita merasa nyaman tinggal disana.” Jawab Rasti.

“Kalau aku merasa nyaman tinggal di kolong jembatan, apa aku bisa menganggapnya rumah?”

“Mungkinkah ada yang nyaman tinggal di kolong jembatan?” Rasti balik bertanya padaku.

“Tidak.”

“Kalau begitu kenapa masih bertanya?”

“Tidak tahu.” Jawabku datar, sambil beranjak pergi meninggalkan Rasti.

Apa itu rumah? Tempat tinggal dimana kita bisa merasa nyaman.


***


Apa itu rumah?


***


“Apa itu rumah?” aku mengeluarkan pertanyaan yang sama, kali ini ke Hardi.

“Ya?”

“Apa itu rumah?” ulangku tidak sabar.

“Aneh- aneh aja tanyanya. Masa gak tau rumah itu apa?”

“Ga.”

“…”

“Apa?”

“Hmm, tempat kita melakukan kegiatan- kegiatan bersama keluarga.” Jawab Hardi.

“Keluarga? Gemana kalo kita tinggal sendiri?”

“Ya.. sama temen- temen yang datang ke rumah.”

“Gemana kalo ga ada temen yang datang ke rumah?”

“Masa gak ada?” tanya Hardi.

“Ga ada.”

“Ya, tempat kamu tidur kalo gitu.”

“Oke.” Jawabku singkat.

Apa itu rumah? tempat kita melakukan kegiatan- kegiatan bersama keluarga, atau teman.


***


Apa itu rumah?


***


“Apa itu rumah?” tanyaku pada Dino.

“Rumah adalah tempat tinggal.” Jawab Dino.

“Sama seperti jawaban Rasti.” Kataku dengan tidak puas.

“Tempat melakukan kegiatan dengan keluarga.”

“Sama seperti jawaban Hardi.” Aku kembali tidak puas.

“Lalu kau mau aku jawab apa?” dino bertanya dengan tidak sabar.

“Jawaban yang berbeda dengan mereka.”

Dino tampak menghela napas sebentar.

“Tempat kita merasa aman tinggal disana.”

“Baik. Terima kasih.” Jawabku sambil berlalu meninggalkan Dino.

Apa itu rumah? Tempat kita merasa aman.


***


Apa itu rumah? Tempat tinggal dimana kita bisa merasa nyaman.

Aku sedang belajar di kamar saat tiba- tiba terdengar suara berisik dari luar rumah sangat mengganggu. Ibuku pulang, dengan siapa lagi dia kali ini datang? Dengan laki- laki mana lagi? Dengan berapa laki- laki lagi? Tak berapa lama ia datang mengetuk pintuku. Oh, tidak lagi. Bisakah ia tidak menggangguku sekarang? Dengan enggan kulangkahkan kaki ke pintu dan membukanya.

“Ini anakku.” Kata Ibu sambil tersenyum kepada laki- laki di sebelahnya. Laki- laki itu tampak sangat kotor. Ia mengenakan celana jeans. Kemejanya dimasukkan asal- asalan ke celananya.

“Ah! Gadis manis.” Kata laki- laki dekil itu. Dengan cepat ia mengulurkan tangannya dan mengelus daguku.

Aku menepis tangannya dengan kasar dan hanya tersenyum masam.

“Ya, seperti ibunya.” Kata Ibu sambil menarik laki- laki itu ke arah ruang tamu. “Ah, tidak. Lebih manis aku tentunya.” Ibu lalu tertawa. Langkahnya sempoyongan. Pasti ia habis minum- minum lagi. Ah! Siapa peduli. Biar saja ia merusak dirinya.

Aku kembali duduk didepan meja belajar. Ah, tidak nafsu lagi aku belajar. Kumatikan lampu belajarku. Lalu kurebahkan tubuhku di ranjang.


***


Aku tidak bisa tidur. Sudah pukul 02.30 pagi. Astaga, berisik sekali mereka. Apa sih yang mereka lakukan? Judi, mabuk- mabukkan. Tinggal menunggu polisi saja datang lagi ke rumah ini untuk kesekian kalinya. Apa ayah sudah pulang? Kasihan ayah. Ia pasti lelah melihat tingkah laku Ibu. Kenapa ia hanya diam?


***


Apa itu rumah? tempat kita melakukan kegiatan- kegiatan bersama keluarga, atau teman.

Aku bangun. Masih mengantuk rasanya. Tidak cukup tidurku. Begini terus setiap malam. Sudah pergikah laki- laki itu? Atau ia menginap disini? Aku melangkah keluar kamar dan mengintip ke ruang tamu. Terdengar dengkuran keras. Ah, menginap disini ia rupanya. Segera aku balik menuju ke kamar mandi. Kuintip kamar ayah. Hanya ada ibu tertidur. Tidak ada ayah. Tampaknya ia sudah berangkat subuh tadi. Ia bekerja dari subuh hingga malam.


***


“Santi, nanti kita kerja kelompok dirumahmu ya. Bisa?” pinta Rasti kepadaku.

“Emm..”

Dirumahku? Tidak, tidak. Bagaimana kalau laki- laki itu masih ada dirumahku. Apa botol- botol minuman keras itu masih di ruang tamu? Ya pasti masih ada. Mana mungkin Ibu mau membereskan rumah.

“Tidak bisa.” Tolakku.

“Kenapa tidak bisa?” tanya Rasti.

“Oh, dirumahku saja. kebetulan Ibuku sedang membuat kue. Jadi sekalian mencicipi kue buatannya.” Sela Dino.

Aku menghela napas lega.

“Oke. Nanti jam 3 kita kumpul ya di rumah Dino.” Kata Rasti.

“Emm, aku mungkin datang terlambat.” Jawabku pelan.

“Kenapa?” tanya Rasti tidak sabar.

“Harus membereskan rumah.” Kataku.

“Ya uda gak apa- apa kok, San.” Sela Dino lagi, sambil memandangku penuh arti.


***


Apa itu rumah? Tempat kita merasa aman.

Disini aku. Memunguti botol- botol minuman keras bekas minum Ibu dan kawan- kawannya semalam.

“Eh, Santi. Nanti kamu pulang bereskan ya ini semua.”

Sudah jam empat. Dan aku baru menyelesaikan semuanya. Badanku berkeringat. Aku ke kamar untuk mengganti bajuku. Lihat badan ini. Aku memandang cermin dengan sedih. Penuh bekas sayatan silet dan sulutan rokok. Ibu selalu menyiksaku sejak aku masih kecil. Segera aku mengenakan pakaian dan menuju rumah Dino yang ada di sebelah rumahku.


***


Sudah malam. Teman- teman yang lain sudah pulang. Aku juga harus pulang, kulangkahkan kakiku ke teras rumah Dino. Terdengar suara berisik di jalan depan rumah. Ibuku lewat, dengan membawa laki- laki lain. Entah siapa lagi. Aku tak kenal.

“Aku heran kenapa kau bisa tahan tinggal bersamanya.” Tanya Dino.

“Siapa bilang aku tahan?” jawabku.

“Lalu kenapa tidak kau tinggalkan saja tempat itu?”

“Kemana?”

“Tempat yang lebih baik?” jawab Dino. Aku tahu dia juga tidak tahu aku harus pergi kemana.


***

Rumah?

Aku bangun dengan segar hari ini. Ibu pergi keluar lagi dengan temannya kemarin malam. Dan belum pulang sampai sekarang.

“Sudah bangun,San?” sapa ayah dari ruang tamu.

“Iya.” Aku duduk di sebelah ayah.

“Ayah, aku ingin bertanya sesuatu.”

“Ya?”

“Kenapa ayah masih tahan dengan Ibu?”

Ayah menurunkan koran yang dibacanya. Ia menatapku dalam.

“Kalau bukan karena kamu, sudah Ayah tinggalkan dia dari dulu.”

“Karena aku?”

“Ayah pikir kamu tidak ingin mempunyai keluarga yang tidak utuh. Kamu ingin ada ayah dan Ibu.”

“Setelah hal- hal yang ia lakukan padaku.” Kataku sambil menunjuk bekas luka di tanganku. “Dan Ayah.”

Dia tidak pernah menganggap ayah ada.

“Aku tidak pernah menganggapnya sebagai seorang Ibu.” Lanjutku.

“Ayah, aku mau pergi dari rumah. Mau ikut aku?”

Ayah memandangku terkejut.

“Bukankah seharusnya itu kata- kata Ayah?”

“Hah?” aku tidak mengerti.

“Mau ikut pergi dengan Ayah?” katanya sambil mengelus kepalaku.


***


Disinilah aku sekarang. Di tempat yang bisa aku sebut rumah. Aku sudah cukup tinggal dengan Ayah yang menyayangiku. Tidak perlu seorang Ibu.

Kuambil gagang telepon. Kuputar nomor telepon rumah Dino.

“Halo, bisa bicara dengan Dino?”

“Dino?” “Aku sudah menemukan rumah.” Kataku sambil tersenyum.

“Ya, kau harus main kesini kapan- kapan.”

Kututup telepon. Kulangkahkan kaki keluar, menyusul Ayah yang sedang berkebun.


***


020609

Cerpen- Masalah (Masalah)  

Posted by Dunia Dalam Karangan in ,

Masalah (Masalah)

Apakah kamu punya masalah?


***

Sabtu, 28 Juni 2008 21.00

Angkat.. angkat.. Siska berkata dalam hatinya. Kenapa Papanya belum juga pulang? Papanya memang biasa pulang malam. Tetapi selalu memberi kabar.

“Diangkat, Sis?” tanya mamanya dari belakang punggung Siska.

“Nggak, ma.” Jawab Siska, masih terus mencoba menelpon.


***

Sabtu, 28 Juni 2008 12.01

Terdengar suara musik keras dari dalam kamar Anna. Anna sedang membaca majalah sambil menggoyang- goyangkan kakinya.

“ANNAAAAA.” Tiba- tiba mamanya sudah ada dikamarnya dan berteriak.

Anna mendengar suara panggilan mamanya. Kemudian mengecilkan suara musiknya.

“Apa?” jawab Anna dengan malas- malasan.
“Sini, tolong Mama beliin gula.”

“Nanti ya.”

“Sekarang.” Jawab mamanya tegas.

“Tunggu, tunggu.”

“Sekarang, Anna. Kamu susah banget sih disuruh sama Mama.”

“Iyaaaa.”


***

Jumat, 20 Juni 2008 22.00

Bernard baru saja pulang setelah jalan- jalan bersama teman- temannya. Ia melangkahkan kaki menuju kekamarnya. Langkahnya terhenti ketika ia melihat papanya tertidur di ruang tamu.

“Pa?” panggil Bernard sambil menggoyangkan bahu papanya. “Kok, ga tidur di kamar?”

Papanya terbangun, “ Tunggu mamamu pulang.”

Bernard begitu kasihan kepada papanya. Sejak papanya cacat karena kecelakaan 2 tahun yang lalu, mamanyalah yang menggantikan papanya memimpin perusahaan. Namun sejak itu pula perhatian mamanya terhadap papanya semakin berkurang.


***

Kamis, 26 Juni 2008 09.00

Andre memandang Ibunya yang sudah tampak pucat.
“Ibu anda harus segera dioperasi dalam 2 atau 3 hari. Kalau tidak ini akan sangat membahayakan nyawanya.”

Darimana ia mendapatkan uang untuk operasi Ibunya?

***

Kamis, 26 Juni 2008 10.15

Bernard terus memandang pintu restoran itu. Sudah hampir seminggu ia mengikuti mamanya. Dan seminggu itu ia berusaha menahan amarah. Siapa laki- laki itu? Ia selalu bersama- sama dengan mama. Bahkan sesekali merangkul mama dengan mesra. tidak tahukah dia kalo mama wanita bersuami? Atau dia hanya mendekati mama karena kami kaya? Ia menginginkan harta kami?

Bernard dikagetkan oleh suara ponselnya sendiri.

“Ya, halo.”

“… Kau butuh uang? Aku ada pekerjaan untukmu.”

***

Sabtu, 28 Juni 2008 12.25

Andre terus mengikuti mobil itu. Tangannya meraba kedalam jaketnya. Dipastikannya pistol itu masih ada disana. Ia terus mengikuti mobil itu sampai tiba di jalanan sepi.

“Ikuti mobil itu. Bunuh pria yang ada di foto ini. Pastikan tidak ada saksi yang melihatnya.”

Dipercepatnya laju motornya, mendahului mobil itu. Dicegatnya mobil itu.

Bunuh, jangan ada saksi.

Andre turun dan menodongkan pistol ke arah jendela pengemudi. Menggerakkan pistolnya, isyarat untuk membuka. Pria di dalam mobil dengan ketakutan membuka jendela mobilnya.

“Apa maumu? Uang? Akan kuberikan…..”

DOR!

Belum selesai pria itu berbicara, Andre sudah menarik menembak pria itu, tepat di kepala.

“Aaaaaaaaaaa!!!!!!!” terdengar teriakan wanita dari dalam mobil. Wajahnya tampak pucat.

Ada orang lain?

“Pastikan tidak ada saksi.” Terngiang perintah tersebut dikepalanya.

DOR!

Sekali lagi Andre menarik pelatuk pistolnya.
Tidak ada saksi.
Dengan cepat Andre memasukkan pistol ke kantong jaketnya kemudian kembali menaiki motornya. Dan ia pergi dari situ.

***

Sabtu, 28 Juni 2008 12.38

Aduhhhh, panas banget sih. Mama ga bisa ya liad aku nganggur sedikit. Liad aku ga ada kerjaan, pasti langsung disuruh- suruh. Aku ini anaknya apa pesuruhnya sih. Mana jauh lagi warungnya.

Tinnnnnnnnn!
Anna terperanjat kaget mendengar suara klakson motor didepannya.

“HEH! Jalan jangan ditengah- tengah kali! Mau celaka lo ya?” teriak si pengemudi motor.

“Aduh sori, aku bengong ga liat ada motor lewat.” Jawab Anna sambil berjalan ke pinggir.

Galak banget sih. Lagian ngebut- ngebut. Eh, apa nih?

***

Sabtu, 28 Juni 2008 12.38

Apa benar yang aku lakukan? Tapi aku tidak tahu lagi darimana aku bisa mendapatkan uang untuk operasi Ibu.

Tinnnnnnnnn!

“HEH! Jalan jangan ditengah- tengah kali! Mau celaka lo ya?” teriak Andre.

“Aduh sori, aku bengong ga liat ada motor lewat.” Jawab gadis yang ada didepannya, sambil berjalan ke pinggir.

Gila. Mau mati juga ni cewe?

***

Sabtu, 28 Juni 2008 18.55

“Sudah?” tanya Bernard.

“Sudah. Dan tidak ada saksi.” Jawab Andre mantap. “Sekarang mana uangnya?”

“Ini.”

“Oke. Terima kasih.” Jawab Andre, mengambil uangnya dan kemudian segera pergi.

***

Sabtu, 28 Juni 2008 21.28

Ting.tong.
Bel rumah Siska berbunyi.
“Itu mungkin papa pulang.” Kata Siska sambil berjalan menuju pintu.
“Selamat malam, rumah keluarga Bapak Handoyo?” tanya polisi dihadapan Siska.
“Ya.” Jawab Siska. Ia tiba- tiba begitu gugup.
“Bapak Handoyo meninggal karena ditembak dikepala…..”

Seseorang akhirnya mengetahui masalahnya.

Sabtu, 28 Juni 2008 21.28

Bernard baru saja pulang. Ramai sekali ini. Polisi? Apa aku ketahuan?

“Ada apa ini?” tanya Bernard.

“Nak, Mamamu meninggal.” Jawab Papanya dengan suara bergetar.

“Hah?”

“Ibu anda meninggal, ditembak dikepala. Mayatnya ditemukan di mobil, bersamaan dengan mayat seorang pria…..”

Seseorang baru saja terkena masalah.

Sabtu, 28 Juni 2008 23.00

Ibu akhirnya dapat dioperasi. Andre segera menuju kamar tempat Ibunya dirawat. Ibunya sudah tampak sangat lemah.

“Nak…” panggil Mamanya.

“Ma, Andre sudah dapat uang untuk operasi Mama.”

Mamanya hanya menggeleng pelan. “Mama sudah tidak kuat.” “Jaga dirimu baik- baik.”

Ibunya memejamkan mata sambil menggenggam tangan Andre.

“Ma? Ma?” panggil Andre dengan suara lemah.

“Saudara Andre?” panggil suara dibelakangnya.

“Ya?” jawab Andre sambil menengok kebelakang.

“Saudara ditangkap atas tuduhan pembunuhan.” Kata seorang polisi sambil berusaha memborgol tangan Andre.

Seseorang baru saja mendapat masalah baru.

Sabtu, 28 Juni 2008 14.25

“Bisa saudari ceritakan lagi kejadiannya?” tanya seorang polisi.

“Ya, saya sedang berjalan ke warung untuk beli gula. Mama saya yang suruh. Panas banget kemaren siang itu….”

“Langsung ke kejadian terkait saja.” potong polisi.

“Lalu tiba- tiba saya hampir tertabrak motor.” “Saat motor itu sudah lewat, saya menemukan pistol yang terjatuh.” “Saya ambil pistol itu. Lalu saya berjalan ke depan. Tidak jauh dari sana saya menemukan sebuah mobil yang didalamnya sudah ada mayat- mayat.” “Kemudian saya segera telpon polisi.” Jawab Anna singkat.

Setidaknya bukan kamu saja yang punya masalah. Setidaknya kamu tidak sendiri

Puisi- Kisah Untuk Kita  

Posted by Dunia Dalam Karangan in ,

Kisah Untuk Kita

Untuk bintang


jika diantara engkau ada seperak sinar

maka lukiskanlah sinar itu dihatinya

agar setiap senyum yang ia berikan menyelimutiku di keriuhan hujan



Untuk hujan

jika diantara riuh itu ada sepenggal acapela

maka dentingkanlah nada- nadanya disetiap bait yang ia terawangkan

agar setip lagu yang ia dendangkan tak terhapus oleh gulita malam



Untuk malam

jika diantara gulita itu ada seberkas warna

maka warnailah dirinya dengan kebahagiaan

agar tawa yang ia mukakan

menutup telingaku dari teriknya cercaan sang surya



Untuk surya

jika diantara cercaan itu ada seonggok perasaan

maka tanamkan benihnya didalam jiwanya

agar hati tulus ini terlukis dengan indahnya cinta



Dan untuk cinta

jika diantara indah itu ada sepenggal kisah

maka kisahkanlah aku dengannya



Agar bintang, hujan, malam, dan surya takkan redup dan mengatupkan ceritanya

sekirapun bintang kehidupan tak lagi menemani


070509


Puisi- Makna Sahabat  

Posted by Dunia Dalam Karangan in ,

Makna Sahabat

Hidupku memang seluas duniaku
hari- hari yang kulalui penuh keraguan
langkah- langkah berat harus diraih
demi perjalanan hidup yang berliku
aku tidak pernah tahu gejolak usiaku
sehari dulu pernah berpikir
apa makna waktu yang bagai butiran pasir
berjuta- juta kerikil tajam menghantam langkahku
kadang juga dunia berputar cepat
dan aku tidak sadar betapa penting
begitu berharganya
seorang dari diri yang tidak menyerupai aku
mempunyai akal yang bertolakan
ide ide yang kuakui penuh tanda tanya

Akankah ini dibalik masa remajaku yang gersang
penuh dengan air mata namun berderai tawa
kala itu kita saling menggenggam berpeluk
menggunakan telinga untuk mendengarkan
dan memberi mutiara mutiara
yang tidak mungkin ada di lautan

Hidupku
bukanlah hal yang besar bagi dunia
tapi aku tau seberapa penting dirimu
karna takkan ada
yang akan mengajarkan fakta
di kala pertikaian ini
lebih baik dari persahabatan
tidak ada lagi yang mau melihat keburukan lebih jujur
dari seorang saja
dan mengenal makna
dari warna hidup tanpa harus mengenal rahasia
tanpa dirinya
yang tak lain sahabat
adalah makna dari hidup
tanpa arti yang luas

Untuk Intan Pandini di ulang tahunnya yang ke-15
14 Agustus 2004

Dari seorang teman

Puisi- Life  

Posted by Dunia Dalam Karangan in ,

Life

Hidup itu...
Tidak bisa selalu menanjak kadang kala kita merosot.....

Hidup itu...
tidak bisa selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan....

Satu- satunya adalah belajar menerima dan menyikapinya.....
Belajar menerima bukanlah hal yang mudah...

Banyak gundahan hati yang dikorbankan....
Banyak air mata yang diuraikan....
tapi...
Akankah ada hasil jika hanya hati dan air mata yang bermain...
TIDAK!!!!!
Kesadaran adalah adalah hal yang mendasar dari semua masalah....

Hidup hanya bagaikan koin berwajah dua....
Hidup hanya ada sebab dan akibat...
Hidup adalah perjuangan
Perjuangan antara...
Hati...
Air mata...
Senyum...
Tawa...
dan yang terpenting
adalah...
Hidup harus dengan kesadaran....

Dunia ini sudah terlalu banyak
Orang-orang yang ditimang oleh hati, air mata, senyum, dan tawa....
Tapi kesadaran belum tentu ada di antaranya...
Meskipun oleh pemilik tangga tertinggi dalam dunia...

KARENA KESADARAN SEMPURNA HANYA MILIK- NYA SAJA....
TIDAK untuk umat- umat -NYA

Cerpen- Lukisan Awan  

Posted by Dunia Dalam Karangan in ,

Lukisan Awan

Aku benci hujan…
Aku takut petir. Ya itu saja. dan hujan bisa membuatku basah. Bukan itu saja...

***

“Leia, ayo keluar. Hari ini begitu cerah.” Ayah berteriak memanggilku. Aku berlari kecil menyusulnya.

“Ayo, Leia.” Ayah menggendongku ketika aku tiba disampingnya. Dibawanya aku ke tepi sungai.
“Lihat awan- awan itu.” Kata Ayah sambil menunjuk langit.

Aku hanya menatap awan- awan itu, tidak mengerti.

“Ah.. lihat baik- baik Leia…” kata Ayah.

“Aaaa, kelinci!” aku berteriak kegirangan saat memperhatikan segumpal awan berbentuk kelinci yang bergerak pelan tertiup angin.

“Haha. Ya, ya. Lalu yang itu?” tanya Ayah sambil menunjuk ke arah lain.

“Aaaa.. kura- kura.”

Dan begitu terus.. Ayah menunjuk awan- awan. Dan aku menebak bentuknya. Senang rasanya melihat bentuk- bentuk awan itu.

“Ayah, ayo ketepi sungai. Aku ingin melihat awan.” Kataku setiap hari. Disaat hari cerah dan begitu banyak awan di langit.

Maka setiap hari Ayah selalu menemaniku ke tepi sungai, dan kami akan menerka bentuk- bentuk awan.

“Ah! Leia. Lihat itu! Apa itu?” tunjuk Ayah.

Aku berpikir. Aku tak tahu bentuk apa itu.

“Apa itu Ayah? Apel?”

“Itu bentuk hati.”

“Hati?”

“Ya, hati itu lambang kasih. Seperti Ayah mengasihi Leia.”

Ayah mengambil belati dari kantongnya. Dan ia mulai mengukir namanya di batang pohon, kemudian bentuk hati, dan diukirnya nama Leia.

***

“Ayah! Ayo keluar. Aku mau melihat awan.”

“Tidak bisa Leia. Hari akan hujan.” Jawab Ayah.

“Tidak ada awan?”

“Ada. Tapi awan itu tidak seindah biasanya.”

Berhari- hari aku menunggu hari cerah. Aku ingin melihat awan bersama Ayah.

“Leia, ayo ikut Ayah.”

Kuturuti kata- kata Ayah dengan senang. Kami akan ke sungai. Melihat awan- awan indah. Tapi, hari ini gelap. Lebih gelap dari biasanya. Kutatap langit, tidak ada awan.

“Kita kemana, Ayah?”

“Ke rumah Ibu Maria.” Jawabnya singkat.

Ia terus menggandeng tanganku dengan erat sampai ke rumah Ibu Maria, tempat Ayah biasa menitipkan aku ketika ayah bekerja di malam hari.

“Pergi lebih cepat, Pak?” tanya Ibu Maria.

“Ya, mendahului badai Bu.” Jawab Ayah sambil tersenyum.

***

Aku terbangun. Aku menengok keluar jendela. Sudah pagi. Ah, begitu cerah. Tapi tidak ada awan. Kenapa Ayah tidak menjemputku? Begitu berisik diluar. Kubuka pintu kamar, ruang depan Ibu Maria dipenuhi banyak orang. Dengan cepat Ibu Maria mendatangiku. Memelukku dengan erat sambil menangis. Ada apa? Ah, itu Ayah.

“Ayah!!” panggilku gembira.

Tapi kenapa ia tertidur pulas?

***

Sudah begitu lama. 15 tahun. Setelah Ayah meninggal karena badai besar 15 tahun lalu, Aku yang sebatang kara diangkat anak oleh sepasang suami istri yang tinggal di kota. Mereka orang tua yang baik bagiku. Merawatku dan memperlakukanku seperti anak mereka sendiri. Tapi selalu saja aku merasa ada yang kurang. Apa karena Aldan yang tidak pernah mengajakku melihat awan?

Tidak ada sungai jernih di kota. Tidak ada halaman luas berumput hijau tempat aku duduk- duduk sambil melihat langit cerah. Aldan juga pernah membawaku ke taman ria. Mungkin aku senang, tapi aku tidak bisa pergi ke taman ria setiap hari, bukan? Semuanya terlalu berbeda. Aku terlalu mencintai kehidupanku yang lama.

“Aku ingin pulang, Aldan.”

“Kemana? Disini rumahmu.”


“Ketempat Ayah.”


“Aku Ayahmu.”


“Anda hanya orang yang merawat saya sejak saya kehilangan seorang Ayah.”


Ah! Tidakkah perkataanku begitu kejam terhadap orang yang menyayangiku sebagai anaknya sendiri?

Another aeroplane, another sunny place,
I'm lucky I know
but I wanna go home
I got to go home

Kenapa aku begitu ingin pulang? Mungkin aku begitu rindu dengan Ayah. Lalu apakah aku bisa bertemu dengan Ayah?

***

Aldan tetap memaksa untuk mengantarku, walaupun aku bilang aku bisa pulang sendiri.

“Bagaimana kau bisa tahu jalan? Aku membawamu pergi saat kau masih kecil.”

Kupijakkan kakiku lagi di desa ini. Desa ini tidak banyak berubah, jalannya masih berupa jalan setapak. Disekelilingnya masih berupa ladang dan hutan kecil. Kulangkahkan kaki, Aldan mengikutiku di belakang. Kutelusuri jalan setapak menuju hutan kecil yang ditengahnya terdapat rumahku ketika kecil dulu. Tempat aku tinggal bersama Ayah.

Rumah itu sudah tidak terawat. Halaman depan yang dulu berupa rumput hijau sudah ditumbuhi ilalang. Aku menengok ke kiri. Ah, pohon besar itu masih ada. Aku ingat Ayah dulu pernah mengukir sesuatu. Aku berjalan menuju pohon itu. Kucari ukiran itu. Ya. Ini dia. Ayah sayang Leia.

Aku berjalan menuju tepi sungai. Tempat aku bermain dengan Ayah dulu. Sungai itu mengalir begitu tenang. Kutatap langit. Mendung. Hari akan hujan. Sejak ayah meninggal, aku begitu takut akan hujan. Hujan mengingatkanku saat dimana aku kehilangan seorang Ayah yang aku sayangi. Tak ingin aku menatap langit mendung itu.

“Tidak ada awan?”

“Ada. Tapi awan itu tidak seindah biasanya.”

Aku tetap duduk dipinggir sungai. Gerimis. Tidak ada bedanya. Saat mendung aku tidak dapat melihat awan yang indah. Saat cerah, mungkin ada awan yang indah. Tapi aku tidak melihatnya bersama ayah. Hanya aku sendiri.

***

Hanya gerimis. Kutatap langit yang mulai cerah. Kugeletakkan tubuhku. Terus kupandangi awan- awan. Kura- kura, kelinci, anjing

“Ah! Leia. Lihat itu! Apa itu?” terngiang kata- kata Ayahku.

“Itu bentuk hati, Ayah.” kutatap awan itu. Begitu indah, awan yang sudah lama tak kulihat. Tapi Ayah tidak ada disini.
Kupejamkan mata sebentar. Lalu kubuka mataku, langit masih cerah.

“Ayah.” Aku tersenyum, memandang awan. Bukan bentuk hewan ataupun buah- buahan lagi yang kulihat. Awan- awan itu melukiskan wajah, yang kuyakini adalah wajah Ayah.

***

“Kau begitu suka awan?” tanya Aldan, yang kemudian duduk disebelahku.

“Ya.” Jawabku singkat.

“Kalau aku sering membawamu melihat awan. Bisakah aku menjadi pengganti Ayahmu?”

Aku diam sesaat.

“Kau tidak bisa menggantikan Ayahku.”
Aldan terdiam.

“Tapi aku bisa memanggilmu Ayah.” Sambungku sambil tersenyum.

Kami terdiam sebentar.

“Ah, lihat bentuk apa itu Ayah!” tunjukku kelangit sambil menyikut tangan Aldan.

“Hati?”

“Ya.”

Aku bangun dan melangkah cepat ke pohon besar. Kuambil batu kecil tajam, dan aku mulai mengukir di pohon. Leia. Hati. Aldan.

***

Ayah, engkau mengenalkan aku tentang kasih dan kegembiraan. Aldan menunjukkan kepadaku kasih dan kesabaran. Bisakah aku memanggilnya Ayah? Karena ia juga menunjukkan sesuatu yang berharga bagiku.



280609





Powered By Blogger