Cerpen- Lukisan Awan  

Posted by Dunia Dalam Karangan in ,

Lukisan Awan

Aku benci hujan…
Aku takut petir. Ya itu saja. dan hujan bisa membuatku basah. Bukan itu saja...

***

“Leia, ayo keluar. Hari ini begitu cerah.” Ayah berteriak memanggilku. Aku berlari kecil menyusulnya.

“Ayo, Leia.” Ayah menggendongku ketika aku tiba disampingnya. Dibawanya aku ke tepi sungai.
“Lihat awan- awan itu.” Kata Ayah sambil menunjuk langit.

Aku hanya menatap awan- awan itu, tidak mengerti.

“Ah.. lihat baik- baik Leia…” kata Ayah.

“Aaaa, kelinci!” aku berteriak kegirangan saat memperhatikan segumpal awan berbentuk kelinci yang bergerak pelan tertiup angin.

“Haha. Ya, ya. Lalu yang itu?” tanya Ayah sambil menunjuk ke arah lain.

“Aaaa.. kura- kura.”

Dan begitu terus.. Ayah menunjuk awan- awan. Dan aku menebak bentuknya. Senang rasanya melihat bentuk- bentuk awan itu.

“Ayah, ayo ketepi sungai. Aku ingin melihat awan.” Kataku setiap hari. Disaat hari cerah dan begitu banyak awan di langit.

Maka setiap hari Ayah selalu menemaniku ke tepi sungai, dan kami akan menerka bentuk- bentuk awan.

“Ah! Leia. Lihat itu! Apa itu?” tunjuk Ayah.

Aku berpikir. Aku tak tahu bentuk apa itu.

“Apa itu Ayah? Apel?”

“Itu bentuk hati.”

“Hati?”

“Ya, hati itu lambang kasih. Seperti Ayah mengasihi Leia.”

Ayah mengambil belati dari kantongnya. Dan ia mulai mengukir namanya di batang pohon, kemudian bentuk hati, dan diukirnya nama Leia.

***

“Ayah! Ayo keluar. Aku mau melihat awan.”

“Tidak bisa Leia. Hari akan hujan.” Jawab Ayah.

“Tidak ada awan?”

“Ada. Tapi awan itu tidak seindah biasanya.”

Berhari- hari aku menunggu hari cerah. Aku ingin melihat awan bersama Ayah.

“Leia, ayo ikut Ayah.”

Kuturuti kata- kata Ayah dengan senang. Kami akan ke sungai. Melihat awan- awan indah. Tapi, hari ini gelap. Lebih gelap dari biasanya. Kutatap langit, tidak ada awan.

“Kita kemana, Ayah?”

“Ke rumah Ibu Maria.” Jawabnya singkat.

Ia terus menggandeng tanganku dengan erat sampai ke rumah Ibu Maria, tempat Ayah biasa menitipkan aku ketika ayah bekerja di malam hari.

“Pergi lebih cepat, Pak?” tanya Ibu Maria.

“Ya, mendahului badai Bu.” Jawab Ayah sambil tersenyum.

***

Aku terbangun. Aku menengok keluar jendela. Sudah pagi. Ah, begitu cerah. Tapi tidak ada awan. Kenapa Ayah tidak menjemputku? Begitu berisik diluar. Kubuka pintu kamar, ruang depan Ibu Maria dipenuhi banyak orang. Dengan cepat Ibu Maria mendatangiku. Memelukku dengan erat sambil menangis. Ada apa? Ah, itu Ayah.

“Ayah!!” panggilku gembira.

Tapi kenapa ia tertidur pulas?

***

Sudah begitu lama. 15 tahun. Setelah Ayah meninggal karena badai besar 15 tahun lalu, Aku yang sebatang kara diangkat anak oleh sepasang suami istri yang tinggal di kota. Mereka orang tua yang baik bagiku. Merawatku dan memperlakukanku seperti anak mereka sendiri. Tapi selalu saja aku merasa ada yang kurang. Apa karena Aldan yang tidak pernah mengajakku melihat awan?

Tidak ada sungai jernih di kota. Tidak ada halaman luas berumput hijau tempat aku duduk- duduk sambil melihat langit cerah. Aldan juga pernah membawaku ke taman ria. Mungkin aku senang, tapi aku tidak bisa pergi ke taman ria setiap hari, bukan? Semuanya terlalu berbeda. Aku terlalu mencintai kehidupanku yang lama.

“Aku ingin pulang, Aldan.”

“Kemana? Disini rumahmu.”


“Ketempat Ayah.”


“Aku Ayahmu.”


“Anda hanya orang yang merawat saya sejak saya kehilangan seorang Ayah.”


Ah! Tidakkah perkataanku begitu kejam terhadap orang yang menyayangiku sebagai anaknya sendiri?

Another aeroplane, another sunny place,
I'm lucky I know
but I wanna go home
I got to go home

Kenapa aku begitu ingin pulang? Mungkin aku begitu rindu dengan Ayah. Lalu apakah aku bisa bertemu dengan Ayah?

***

Aldan tetap memaksa untuk mengantarku, walaupun aku bilang aku bisa pulang sendiri.

“Bagaimana kau bisa tahu jalan? Aku membawamu pergi saat kau masih kecil.”

Kupijakkan kakiku lagi di desa ini. Desa ini tidak banyak berubah, jalannya masih berupa jalan setapak. Disekelilingnya masih berupa ladang dan hutan kecil. Kulangkahkan kaki, Aldan mengikutiku di belakang. Kutelusuri jalan setapak menuju hutan kecil yang ditengahnya terdapat rumahku ketika kecil dulu. Tempat aku tinggal bersama Ayah.

Rumah itu sudah tidak terawat. Halaman depan yang dulu berupa rumput hijau sudah ditumbuhi ilalang. Aku menengok ke kiri. Ah, pohon besar itu masih ada. Aku ingat Ayah dulu pernah mengukir sesuatu. Aku berjalan menuju pohon itu. Kucari ukiran itu. Ya. Ini dia. Ayah sayang Leia.

Aku berjalan menuju tepi sungai. Tempat aku bermain dengan Ayah dulu. Sungai itu mengalir begitu tenang. Kutatap langit. Mendung. Hari akan hujan. Sejak ayah meninggal, aku begitu takut akan hujan. Hujan mengingatkanku saat dimana aku kehilangan seorang Ayah yang aku sayangi. Tak ingin aku menatap langit mendung itu.

“Tidak ada awan?”

“Ada. Tapi awan itu tidak seindah biasanya.”

Aku tetap duduk dipinggir sungai. Gerimis. Tidak ada bedanya. Saat mendung aku tidak dapat melihat awan yang indah. Saat cerah, mungkin ada awan yang indah. Tapi aku tidak melihatnya bersama ayah. Hanya aku sendiri.

***

Hanya gerimis. Kutatap langit yang mulai cerah. Kugeletakkan tubuhku. Terus kupandangi awan- awan. Kura- kura, kelinci, anjing

“Ah! Leia. Lihat itu! Apa itu?” terngiang kata- kata Ayahku.

“Itu bentuk hati, Ayah.” kutatap awan itu. Begitu indah, awan yang sudah lama tak kulihat. Tapi Ayah tidak ada disini.
Kupejamkan mata sebentar. Lalu kubuka mataku, langit masih cerah.

“Ayah.” Aku tersenyum, memandang awan. Bukan bentuk hewan ataupun buah- buahan lagi yang kulihat. Awan- awan itu melukiskan wajah, yang kuyakini adalah wajah Ayah.

***

“Kau begitu suka awan?” tanya Aldan, yang kemudian duduk disebelahku.

“Ya.” Jawabku singkat.

“Kalau aku sering membawamu melihat awan. Bisakah aku menjadi pengganti Ayahmu?”

Aku diam sesaat.

“Kau tidak bisa menggantikan Ayahku.”
Aldan terdiam.

“Tapi aku bisa memanggilmu Ayah.” Sambungku sambil tersenyum.

Kami terdiam sebentar.

“Ah, lihat bentuk apa itu Ayah!” tunjukku kelangit sambil menyikut tangan Aldan.

“Hati?”

“Ya.”

Aku bangun dan melangkah cepat ke pohon besar. Kuambil batu kecil tajam, dan aku mulai mengukir di pohon. Leia. Hati. Aldan.

***

Ayah, engkau mengenalkan aku tentang kasih dan kegembiraan. Aldan menunjukkan kepadaku kasih dan kesabaran. Bisakah aku memanggilnya Ayah? Karena ia juga menunjukkan sesuatu yang berharga bagiku.



280609





This entry was posted on Monday, June 29, 2009 at 14:36 and is filed under , . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 comments

Post a Comment

Powered By Blogger