Rumah
Apa itu rumah?
“Hmm?” Rasti memandangku aneh. Seperti tidak mengerti apa yang aku tanyakan.
“Rumah itu apa?” tanyaku tidak sabar.
“Rumah itu… tempat tinggal.” Jawab Rasti singkat, namun ragu.
“Tempat tinggal? Kalau begitu, kolong jembatan bisa disebut rumah?” tanyaku lagi, lebih tidak sabar.
“Tidak.”
“Kenapa tidak?”
“Karena, tempat tinggal yang kumaksud adalah tempat dimana kita merasa nyaman tinggal disana.” Jawab Rasti.
“Kalau aku merasa nyaman tinggal di kolong jembatan, apa aku bisa menganggapnya rumah?”
“Mungkinkah ada yang nyaman tinggal di kolong jembatan?” Rasti balik bertanya padaku.
“Tidak.”
“Kalau begitu kenapa masih bertanya?”
“Tidak tahu.” Jawabku datar, sambil beranjak pergi meninggalkan Rasti.
Apa itu rumah? Tempat tinggal dimana kita bisa merasa nyaman.
Apa itu rumah?
“Apa itu rumah?” aku mengeluarkan pertanyaan yang sama, kali ini ke Hardi.
“Ya?”
“Apa itu rumah?” ulangku tidak sabar.
“Aneh- aneh aja tanyanya. Masa gak tau rumah itu apa?”
“Ga.”
“…”
“Apa?”
“Hmm, tempat kita melakukan kegiatan- kegiatan bersama keluarga.” Jawab Hardi.
“Keluarga? Gemana kalo kita tinggal sendiri?”
“Ya.. sama temen- temen yang datang ke rumah.”
“Gemana kalo ga ada temen yang datang ke rumah?”
“Masa gak ada?” tanya Hardi.
“Ga ada.”
“Ya, tempat kamu tidur kalo gitu.”
“Oke.” Jawabku singkat.
Apa itu rumah? tempat kita melakukan kegiatan- kegiatan bersama keluarga, atau teman.
“Rumah adalah tempat tinggal.” Jawab Dino.
“Sama seperti jawaban Rasti.” Kataku dengan tidak puas.
“Tempat melakukan kegiatan dengan keluarga.”
“Sama seperti jawaban Hardi.” Aku kembali tidak puas.
“Lalu kau mau aku jawab apa?” dino bertanya dengan tidak sabar.
“Jawaban yang berbeda dengan mereka.”
Dino tampak menghela napas sebentar.
“Tempat kita merasa aman tinggal disana.”
“Baik. Terima kasih.” Jawabku sambil berlalu meninggalkan Dino.
Apa itu rumah? Tempat kita merasa aman.
Aku sedang belajar di kamar saat tiba- tiba terdengar suara berisik dari luar rumah sangat mengganggu. Ibuku pulang, dengan siapa lagi dia kali ini datang? Dengan laki- laki mana lagi? Dengan berapa laki- laki lagi? Tak berapa lama ia datang mengetuk pintuku. Oh, tidak lagi. Bisakah ia tidak menggangguku sekarang? Dengan enggan kulangkahkan kaki ke pintu dan membukanya.
“Ini anakku.” Kata Ibu sambil tersenyum kepada laki- laki di sebelahnya. Laki- laki itu tampak sangat kotor. Ia mengenakan celana jeans. Kemejanya dimasukkan asal- asalan ke celananya.
“Ah! Gadis manis.” Kata laki- laki dekil itu. Dengan cepat ia mengulurkan tangannya dan mengelus daguku.
Aku menepis tangannya dengan kasar dan hanya tersenyum masam.
“Ya, seperti ibunya.” Kata Ibu sambil menarik laki- laki itu ke arah ruang tamu. “Ah, tidak. Lebih manis aku tentunya.” Ibu lalu tertawa. Langkahnya sempoyongan. Pasti ia habis minum- minum lagi. Ah! Siapa peduli. Biar saja ia merusak dirinya.
Aku kembali duduk didepan meja belajar. Ah, tidak nafsu lagi aku belajar. Kumatikan lampu belajarku. Lalu kurebahkan tubuhku di ranjang.
Apa itu rumah? tempat kita melakukan kegiatan- kegiatan bersama keluarga, atau teman.
Aku bangun. Masih mengantuk rasanya. Tidak cukup tidurku. Begini terus setiap malam. Sudah pergikah laki- laki itu? Atau ia menginap disini? Aku melangkah keluar kamar dan mengintip ke ruang tamu. Terdengar dengkuran keras. Ah, menginap disini ia rupanya. Segera aku balik menuju ke kamar mandi. Kuintip kamar ayah. Hanya ada ibu tertidur. Tidak ada ayah. Tampaknya ia sudah berangkat subuh tadi. Ia bekerja dari subuh hingga malam.
“Emm..”
Dirumahku? Tidak, tidak. Bagaimana kalau laki- laki itu masih ada dirumahku. Apa botol- botol minuman keras itu masih di ruang tamu? Ya pasti masih ada. Mana mungkin Ibu mau membereskan rumah.
“Tidak bisa.” Tolakku.
“Kenapa tidak bisa?” tanya Rasti.
“Oh, dirumahku saja. kebetulan Ibuku sedang membuat kue. Jadi sekalian mencicipi kue buatannya.” Sela Dino.
Aku menghela napas lega.
“Oke. Nanti jam 3 kita kumpul ya di rumah Dino.” Kata Rasti.
“Emm, aku mungkin datang terlambat.” Jawabku pelan.
“Kenapa?” tanya Rasti tidak sabar.
“Harus membereskan rumah.” Kataku.
“Ya uda gak apa- apa kok, San.” Sela Dino lagi, sambil memandangku penuh arti.
Disini aku. Memunguti botol- botol minuman keras bekas minum Ibu dan kawan- kawannya semalam.
“Eh, Santi. Nanti kamu pulang bereskan ya ini semua.”
Sudah jam empat. Dan aku baru menyelesaikan semuanya. Badanku berkeringat. Aku ke kamar untuk mengganti bajuku. Lihat badan ini. Aku memandang cermin dengan sedih. Penuh bekas sayatan silet dan sulutan rokok. Ibu selalu menyiksaku sejak aku masih kecil. Segera aku mengenakan pakaian dan menuju rumah Dino yang ada di sebelah rumahku.
“Aku heran kenapa kau bisa tahan tinggal bersamanya.” Tanya Dino.
“Siapa bilang aku tahan?” jawabku.
“Lalu kenapa tidak kau tinggalkan saja tempat itu?”
“Kemana?”
“Tempat yang lebih baik?” jawab Dino. Aku tahu dia juga tidak tahu aku harus pergi kemana.
Aku bangun dengan segar hari ini. Ibu pergi keluar lagi dengan temannya kemarin malam. Dan belum pulang sampai sekarang.
“Sudah bangun,San?” sapa ayah dari ruang tamu.
“Iya.” Aku duduk di sebelah ayah.
“Ayah, aku ingin bertanya sesuatu.”
“Ya?”
“Kenapa ayah masih tahan dengan Ibu?”
Ayah menurunkan koran yang dibacanya. Ia menatapku dalam.
“Kalau bukan karena kamu, sudah Ayah tinggalkan dia dari dulu.”
“Karena aku?”
“Ayah pikir kamu tidak ingin mempunyai keluarga yang tidak utuh. Kamu ingin ada ayah dan Ibu.”
“Setelah hal- hal yang ia lakukan padaku.” Kataku sambil menunjuk bekas luka di tanganku. “Dan Ayah.”
Dia tidak pernah menganggap ayah ada.
“Aku tidak pernah menganggapnya sebagai seorang Ibu.” Lanjutku.
“Ayah, aku mau pergi dari rumah. Mau ikut aku?”
Ayah memandangku terkejut.
“Bukankah seharusnya itu kata- kata Ayah?”
“Hah?” aku tidak mengerti.
“Mau ikut pergi dengan Ayah?” katanya sambil mengelus kepalaku.
Kuambil gagang telepon. Kuputar nomor telepon rumah Dino.
“Halo, bisa bicara dengan Dino?”
“Dino?” “Aku sudah menemukan rumah.” Kataku sambil tersenyum.
“Ya, kau harus main kesini kapan- kapan.”
Kututup telepon. Kulangkahkan kaki keluar, menyusul Ayah yang sedang berkebun.
***
Aku bertanya pada Rasti pada saat jam istirahat, “Apa itu rumah?”“Hmm?” Rasti memandangku aneh. Seperti tidak mengerti apa yang aku tanyakan.
“Rumah itu apa?” tanyaku tidak sabar.
“Rumah itu… tempat tinggal.” Jawab Rasti singkat, namun ragu.
“Tempat tinggal? Kalau begitu, kolong jembatan bisa disebut rumah?” tanyaku lagi, lebih tidak sabar.
“Tidak.”
“Kenapa tidak?”
“Karena, tempat tinggal yang kumaksud adalah tempat dimana kita merasa nyaman tinggal disana.” Jawab Rasti.
“Kalau aku merasa nyaman tinggal di kolong jembatan, apa aku bisa menganggapnya rumah?”
“Mungkinkah ada yang nyaman tinggal di kolong jembatan?” Rasti balik bertanya padaku.
“Tidak.”
“Kalau begitu kenapa masih bertanya?”
“Tidak tahu.” Jawabku datar, sambil beranjak pergi meninggalkan Rasti.
Apa itu rumah? Tempat tinggal dimana kita bisa merasa nyaman.
***
Apa itu rumah?
***
“Apa itu rumah?” aku mengeluarkan pertanyaan yang sama, kali ini ke Hardi.
“Ya?”
“Apa itu rumah?” ulangku tidak sabar.
“Aneh- aneh aja tanyanya. Masa gak tau rumah itu apa?”
“Ga.”
“…”
“Apa?”
“Hmm, tempat kita melakukan kegiatan- kegiatan bersama keluarga.” Jawab Hardi.
“Keluarga? Gemana kalo kita tinggal sendiri?”
“Ya.. sama temen- temen yang datang ke rumah.”
“Gemana kalo ga ada temen yang datang ke rumah?”
“Masa gak ada?” tanya Hardi.
“Ga ada.”
“Ya, tempat kamu tidur kalo gitu.”
“Oke.” Jawabku singkat.
Apa itu rumah? tempat kita melakukan kegiatan- kegiatan bersama keluarga, atau teman.
***
Apa itu rumah?***
“Apa itu rumah?” tanyaku pada Dino.“Rumah adalah tempat tinggal.” Jawab Dino.
“Sama seperti jawaban Rasti.” Kataku dengan tidak puas.
“Tempat melakukan kegiatan dengan keluarga.”
“Sama seperti jawaban Hardi.” Aku kembali tidak puas.
“Lalu kau mau aku jawab apa?” dino bertanya dengan tidak sabar.
“Jawaban yang berbeda dengan mereka.”
Dino tampak menghela napas sebentar.
“Tempat kita merasa aman tinggal disana.”
“Baik. Terima kasih.” Jawabku sambil berlalu meninggalkan Dino.
Apa itu rumah? Tempat kita merasa aman.
***
Apa itu rumah? Tempat tinggal dimana kita bisa merasa nyaman.Aku sedang belajar di kamar saat tiba- tiba terdengar suara berisik dari luar rumah sangat mengganggu. Ibuku pulang, dengan siapa lagi dia kali ini datang? Dengan laki- laki mana lagi? Dengan berapa laki- laki lagi? Tak berapa lama ia datang mengetuk pintuku. Oh, tidak lagi. Bisakah ia tidak menggangguku sekarang? Dengan enggan kulangkahkan kaki ke pintu dan membukanya.
“Ini anakku.” Kata Ibu sambil tersenyum kepada laki- laki di sebelahnya. Laki- laki itu tampak sangat kotor. Ia mengenakan celana jeans. Kemejanya dimasukkan asal- asalan ke celananya.
“Ah! Gadis manis.” Kata laki- laki dekil itu. Dengan cepat ia mengulurkan tangannya dan mengelus daguku.
Aku menepis tangannya dengan kasar dan hanya tersenyum masam.
“Ya, seperti ibunya.” Kata Ibu sambil menarik laki- laki itu ke arah ruang tamu. “Ah, tidak. Lebih manis aku tentunya.” Ibu lalu tertawa. Langkahnya sempoyongan. Pasti ia habis minum- minum lagi. Ah! Siapa peduli. Biar saja ia merusak dirinya.
Aku kembali duduk didepan meja belajar. Ah, tidak nafsu lagi aku belajar. Kumatikan lampu belajarku. Lalu kurebahkan tubuhku di ranjang.
***
Aku tidak bisa tidur. Sudah pukul 02.30 pagi. Astaga, berisik sekali mereka. Apa sih yang mereka lakukan? Judi, mabuk- mabukkan. Tinggal menunggu polisi saja datang lagi ke rumah ini untuk kesekian kalinya. Apa ayah sudah pulang? Kasihan ayah. Ia pasti lelah melihat tingkah laku Ibu. Kenapa ia hanya diam?***
Apa itu rumah? tempat kita melakukan kegiatan- kegiatan bersama keluarga, atau teman.
Aku bangun. Masih mengantuk rasanya. Tidak cukup tidurku. Begini terus setiap malam. Sudah pergikah laki- laki itu? Atau ia menginap disini? Aku melangkah keluar kamar dan mengintip ke ruang tamu. Terdengar dengkuran keras. Ah, menginap disini ia rupanya. Segera aku balik menuju ke kamar mandi. Kuintip kamar ayah. Hanya ada ibu tertidur. Tidak ada ayah. Tampaknya ia sudah berangkat subuh tadi. Ia bekerja dari subuh hingga malam.
***
“Santi, nanti kita kerja kelompok dirumahmu ya. Bisa?” pinta Rasti kepadaku.“Emm..”
Dirumahku? Tidak, tidak. Bagaimana kalau laki- laki itu masih ada dirumahku. Apa botol- botol minuman keras itu masih di ruang tamu? Ya pasti masih ada. Mana mungkin Ibu mau membereskan rumah.
“Tidak bisa.” Tolakku.
“Kenapa tidak bisa?” tanya Rasti.
“Oh, dirumahku saja. kebetulan Ibuku sedang membuat kue. Jadi sekalian mencicipi kue buatannya.” Sela Dino.
Aku menghela napas lega.
“Oke. Nanti jam 3 kita kumpul ya di rumah Dino.” Kata Rasti.
“Emm, aku mungkin datang terlambat.” Jawabku pelan.
“Kenapa?” tanya Rasti tidak sabar.
“Harus membereskan rumah.” Kataku.
“Ya uda gak apa- apa kok, San.” Sela Dino lagi, sambil memandangku penuh arti.
***
Apa itu rumah? Tempat kita merasa aman.Disini aku. Memunguti botol- botol minuman keras bekas minum Ibu dan kawan- kawannya semalam.
“Eh, Santi. Nanti kamu pulang bereskan ya ini semua.”
Sudah jam empat. Dan aku baru menyelesaikan semuanya. Badanku berkeringat. Aku ke kamar untuk mengganti bajuku. Lihat badan ini. Aku memandang cermin dengan sedih. Penuh bekas sayatan silet dan sulutan rokok. Ibu selalu menyiksaku sejak aku masih kecil. Segera aku mengenakan pakaian dan menuju rumah Dino yang ada di sebelah rumahku.
***
Sudah malam. Teman- teman yang lain sudah pulang. Aku juga harus pulang, kulangkahkan kakiku ke teras rumah Dino. Terdengar suara berisik di jalan depan rumah. Ibuku lewat, dengan membawa laki- laki lain. Entah siapa lagi. Aku tak kenal.“Aku heran kenapa kau bisa tahan tinggal bersamanya.” Tanya Dino.
“Siapa bilang aku tahan?” jawabku.
“Lalu kenapa tidak kau tinggalkan saja tempat itu?”
“Kemana?”
“Tempat yang lebih baik?” jawab Dino. Aku tahu dia juga tidak tahu aku harus pergi kemana.
***
Rumah?
Aku bangun dengan segar hari ini. Ibu pergi keluar lagi dengan temannya kemarin malam. Dan belum pulang sampai sekarang.
“Sudah bangun,San?” sapa ayah dari ruang tamu.
“Iya.” Aku duduk di sebelah ayah.
“Ayah, aku ingin bertanya sesuatu.”
“Ya?”
“Kenapa ayah masih tahan dengan Ibu?”
Ayah menurunkan koran yang dibacanya. Ia menatapku dalam.
“Kalau bukan karena kamu, sudah Ayah tinggalkan dia dari dulu.”
“Karena aku?”
“Ayah pikir kamu tidak ingin mempunyai keluarga yang tidak utuh. Kamu ingin ada ayah dan Ibu.”
“Setelah hal- hal yang ia lakukan padaku.” Kataku sambil menunjuk bekas luka di tanganku. “Dan Ayah.”
Dia tidak pernah menganggap ayah ada.
“Aku tidak pernah menganggapnya sebagai seorang Ibu.” Lanjutku.
“Ayah, aku mau pergi dari rumah. Mau ikut aku?”
Ayah memandangku terkejut.
“Bukankah seharusnya itu kata- kata Ayah?”
“Hah?” aku tidak mengerti.
“Mau ikut pergi dengan Ayah?” katanya sambil mengelus kepalaku.
***
Disinilah aku sekarang. Di tempat yang bisa aku sebut rumah. Aku sudah cukup tinggal dengan Ayah yang menyayangiku. Tidak perlu seorang Ibu.Kuambil gagang telepon. Kuputar nomor telepon rumah Dino.
“Halo, bisa bicara dengan Dino?”
“Dino?” “Aku sudah menemukan rumah.” Kataku sambil tersenyum.
“Ya, kau harus main kesini kapan- kapan.”
Kututup telepon. Kulangkahkan kaki keluar, menyusul Ayah yang sedang berkebun.
***
020609
This entry was posted
on Thursday, July 2, 2009
at 20:02
and is filed under
Cerpen,
LaDiva
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.