Kisah Untuk Kita
Untuk bintang
jika diantara engkau ada seperak sinar
maka lukiskanlah sinar itu dihatinya
agar setiap senyum yang ia berikan menyelimutiku di keriuhan hujan
Untuk hujan
jika diantara riuh itu ada sepenggal acapela
maka dentingkanlah nada- nadanya disetiap bait yang ia terawangkan
agar setip lagu yang ia dendangkan tak terhapus oleh gulita malam
Untuk malam
jika diantara gulita itu ada seberkas warna
maka warnailah dirinya dengan kebahagiaan
agar tawa yang ia mukakan
menutup telingaku dari teriknya cercaan sang surya
Untuk surya
jika diantara cercaan itu ada seonggok perasaan
maka tanamkan benihnya didalam jiwanya
agar hati tulus ini terlukis dengan indahnya cinta
Dan untuk cinta
jika diantara indah itu ada sepenggal kisah
maka kisahkanlah aku dengannya
Agar bintang, hujan, malam, dan surya takkan redup dan mengatupkan ceritanya
sekirapun bintang kehidupan tak lagi menemani
hari- hari yang kulalui penuh keraguan
langkah- langkah berat harus diraih
demi perjalanan hidup yang berliku
aku tidak pernah tahu gejolak usiaku
sehari dulu pernah berpikir
apa makna waktu yang bagai butiran pasir
berjuta- juta kerikil tajam menghantam langkahku
kadang juga dunia berputar cepat
dan aku tidak sadar betapa penting
begitu berharganya
seorang dari diri yang tidak menyerupai aku
mempunyai akal yang bertolakan
ide ide yang kuakui penuh tanda tanya
Akankah ini dibalik masa remajaku yang gersang
penuh dengan air mata namun berderai tawa
kala itu kita saling menggenggam berpeluk
menggunakan telinga untuk mendengarkan
dan memberi mutiara mutiara
yang tidak mungkin ada di lautan
Hidupku
bukanlah hal yang besar bagi dunia
tapi aku tau seberapa penting dirimu
karna takkan ada
yang akan mengajarkan fakta
di kala pertikaian ini
lebih baik dari persahabatan
tidak ada lagi yang mau melihat keburukan lebih jujur
dari seorang saja
dan mengenal makna
dari warna hidup tanpa harus mengenal rahasia
tanpa dirinya
yang tak lain sahabat
adalah makna dari hidup
tanpa arti yang luas
14 Agustus 2004
Dari seorang teman
Life
Hidup itu...
Tidak bisa selalu menanjak kadang kala kita merosot.....
Hidup itu...
tidak bisa selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan....
Satu- satunya adalah belajar menerima dan menyikapinya.....
Belajar menerima bukanlah hal yang mudah...
Banyak gundahan hati yang dikorbankan....
Banyak air mata yang diuraikan....
tapi...
Akankah ada hasil jika hanya hati dan air mata yang bermain...
TIDAK!!!!!
Kesadaran adalah adalah hal yang mendasar dari semua masalah....
Hidup hanya bagaikan koin berwajah dua....
Hidup hanya ada sebab dan akibat...
Hidup adalah perjuangan
Perjuangan antara...
Hati...
Air mata...
Senyum...
Tawa...
dan yang terpenting
adalah...
Hidup harus dengan kesadaran....
Dunia ini sudah terlalu banyak
Orang-orang yang ditimang oleh hati, air mata, senyum, dan tawa....
Tapi kesadaran belum tentu ada di antaranya...
Meskipun oleh pemilik tangga tertinggi dalam dunia...
KARENA KESADARAN SEMPURNA HANYA MILIK- NYA SAJA....
TIDAK untuk umat- umat -NYA
Aku takut petir. Ya itu saja. dan hujan bisa membuatku basah. Bukan itu saja...
“Leia, ayo keluar. Hari ini begitu cerah.” Ayah berteriak memanggilku. Aku berlari kecil menyusulnya.
“Ayo, Leia.” Ayah menggendongku ketika aku tiba disampingnya. Dibawanya aku ke tepi sungai.
“Lihat awan- awan itu.” Kata Ayah sambil menunjuk langit.
Aku hanya menatap awan- awan itu, tidak mengerti.
“Ah.. lihat baik- baik Leia…” kata Ayah.
“Aaaa, kelinci!” aku berteriak kegirangan saat memperhatikan segumpal awan berbentuk kelinci yang bergerak pelan tertiup angin.
“Haha. Ya, ya. Lalu yang itu?” tanya Ayah sambil menunjuk ke arah lain.
“Aaaa.. kura- kura.”
Dan begitu terus.. Ayah menunjuk awan- awan. Dan aku menebak bentuknya. Senang rasanya melihat bentuk- bentuk awan itu.
“Ayah, ayo ketepi sungai. Aku ingin melihat awan.” Kataku setiap hari. Disaat hari cerah dan begitu banyak awan di langit.
Maka setiap hari Ayah selalu menemaniku ke tepi sungai, dan kami akan menerka bentuk- bentuk awan.
“Ah! Leia. Lihat itu! Apa itu?” tunjuk Ayah.
Aku berpikir. Aku tak tahu bentuk apa itu.
“Apa itu Ayah? Apel?”
“Itu bentuk hati.”
“Hati?”
“Ya, hati itu lambang kasih. Seperti Ayah mengasihi Leia.”
Ayah mengambil belati dari kantongnya. Dan ia mulai mengukir namanya di batang pohon, kemudian bentuk hati, dan diukirnya nama Leia.
“Ayah! Ayo keluar. Aku mau melihat awan.”
“Tidak bisa Leia. Hari akan hujan.” Jawab Ayah.
“Tidak ada awan?”
“Ada. Tapi awan itu tidak seindah biasanya.”
Berhari- hari aku menunggu hari cerah. Aku ingin melihat awan bersama Ayah.
“Leia, ayo ikut Ayah.”
Kuturuti kata- kata Ayah dengan senang. Kami akan ke sungai. Melihat awan- awan indah. Tapi, hari ini gelap. Lebih gelap dari biasanya. Kutatap langit, tidak ada awan.
“Kita kemana, Ayah?”
“Ke rumah Ibu Maria.” Jawabnya singkat.
Ia terus menggandeng tanganku dengan erat sampai ke rumah Ibu Maria, tempat Ayah biasa menitipkan aku ketika ayah bekerja di malam hari.
“Pergi lebih cepat, Pak?” tanya Ibu Maria.
“Ya, mendahului badai Bu.” Jawab Ayah sambil tersenyum.
Aku terbangun. Aku menengok keluar jendela. Sudah pagi. Ah, begitu cerah. Tapi tidak ada awan. Kenapa Ayah tidak menjemputku? Begitu berisik diluar. Kubuka pintu kamar, ruang depan Ibu Maria dipenuhi banyak orang. Dengan cepat Ibu Maria mendatangiku. Memelukku dengan erat sambil menangis. Ada apa? Ah, itu Ayah.
“Ayah!!” panggilku gembira.
Tapi kenapa ia tertidur pulas?
Sudah begitu lama. 15 tahun. Setelah Ayah meninggal karena badai besar 15 tahun lalu, Aku yang sebatang kara diangkat anak oleh sepasang suami istri yang tinggal di kota. Mereka orang tua yang baik bagiku. Merawatku dan memperlakukanku seperti anak mereka sendiri. Tapi selalu saja aku merasa ada yang kurang. Apa karena Aldan yang tidak pernah mengajakku melihat awan?
Tidak ada sungai jernih di kota. Tidak ada halaman luas berumput hijau tempat aku duduk- duduk sambil melihat langit cerah. Aldan juga pernah membawaku ke taman ria. Mungkin aku senang, tapi aku tidak bisa pergi ke taman ria setiap hari, bukan? Semuanya terlalu berbeda. Aku terlalu mencintai kehidupanku yang lama.
“Aku ingin pulang, Aldan.”
“Kemana? Disini rumahmu.”
“Ketempat Ayah.”
“Aku Ayahmu.”
“Anda hanya orang yang merawat saya sejak saya kehilangan seorang Ayah.”
Ah! Tidakkah perkataanku begitu kejam terhadap orang yang menyayangiku sebagai anaknya sendiri?
I'm lucky I know
but I wanna go home
I got to go home
Kenapa aku begitu ingin pulang? Mungkin aku begitu rindu dengan Ayah. Lalu apakah aku bisa bertemu dengan Ayah?
“Bagaimana kau bisa tahu jalan? Aku membawamu pergi saat kau masih kecil.”
Kupijakkan kakiku lagi di desa ini. Desa ini tidak banyak berubah, jalannya masih berupa jalan setapak. Disekelilingnya masih berupa ladang dan hutan kecil. Kulangkahkan kaki, Aldan mengikutiku di belakang. Kutelusuri jalan setapak menuju hutan kecil yang ditengahnya terdapat rumahku ketika kecil dulu. Tempat aku tinggal bersama Ayah.
Rumah itu sudah tidak terawat. Halaman depan yang dulu berupa rumput hijau sudah ditumbuhi ilalang. Aku menengok ke kiri. Ah, pohon besar itu masih ada. Aku ingat Ayah dulu pernah mengukir sesuatu. Aku berjalan menuju pohon itu. Kucari ukiran itu. Ya. Ini dia. Ayah sayang Leia.
Aku berjalan menuju tepi sungai. Tempat aku bermain dengan Ayah dulu. Sungai itu mengalir begitu tenang. Kutatap langit. Mendung. Hari akan hujan. Sejak ayah meninggal, aku begitu takut akan hujan. Hujan mengingatkanku saat dimana aku kehilangan seorang Ayah yang aku sayangi. Tak ingin aku menatap langit mendung itu.
“Tidak ada awan?”
“Ada. Tapi awan itu tidak seindah biasanya.”
Aku tetap duduk dipinggir sungai. Gerimis. Tidak ada bedanya. Saat mendung aku tidak dapat melihat awan yang indah. Saat cerah, mungkin ada awan yang indah. Tapi aku tidak melihatnya bersama ayah. Hanya aku sendiri.
Hanya gerimis. Kutatap langit yang mulai cerah. Kugeletakkan tubuhku. Terus kupandangi awan- awan. Kura- kura, kelinci, anjing…
“Ah! Leia. Lihat itu! Apa itu?” terngiang kata- kata Ayahku.
“Itu bentuk hati, Ayah.” kutatap awan itu. Begitu indah, awan yang sudah lama tak kulihat. Tapi Ayah tidak ada disini.
Kupejamkan mata sebentar. Lalu kubuka mataku, langit masih cerah.
“Ayah.” Aku tersenyum, memandang awan. Bukan bentuk hewan ataupun buah- buahan lagi yang kulihat. Awan- awan itu melukiskan wajah, yang kuyakini adalah wajah Ayah.
“Ya.” Jawabku singkat.
“Kalau aku sering membawamu melihat awan. Bisakah aku menjadi pengganti Ayahmu?”
Aku diam sesaat.
“Kau tidak bisa menggantikan Ayahku.”
Aldan terdiam.
“Tapi aku bisa memanggilmu Ayah.” Sambungku sambil tersenyum.
Kami terdiam sebentar.
“Ah, lihat bentuk apa itu Ayah!” tunjukku kelangit sambil menyikut tangan Aldan.
“Hati?”
“Ya.”
Aku bangun dan melangkah cepat ke pohon besar. Kuambil batu kecil tajam, dan aku mulai mengukir di pohon. Leia. Hati. Aldan.
Ayah, engkau mengenalkan aku tentang kasih dan kegembiraan. Aldan menunjukkan kepadaku kasih dan kesabaran. Bisakah aku memanggilnya Ayah? Karena ia juga menunjukkan sesuatu yang berharga bagiku.